Sunday 26 April 2009

CUNDASUKARIKA

CUNDASUKARIKA


“Di sini ia menderita ....” Dhammadesana ini dibabarkan oleh Sang Buddha ketika beliau berdi-am di Veluvana sehubungan dengan Cunda-sukarika.

Selama lima puluh lima tahun Cunda hidup dengan menjagal babi untuk dimakannya maupun dijual. Di masa paceklik ia pergi ke pedalaman dengan membawa gerobak penuh berisi beras, dan kembali membawa babi-babi muda yang didapatnya dengan menggantikan seekor babi dengan beras satu atau dua kaleng kecil di kampung-kampung. Tiba di rumah ia membuat kandang besar untuk babi-babi tersebut dan menghidupkan atau memelihara mereka dengan memberikan rumput-rumputan atau kotoran sebagai makanan.
Bilamana ia mau menjagal babi, ia mengikat babi tersebut pada sebuah tiang lalu memukulnya dengan palang besar supaya dagingnya menjadi bengkak dan lembut. Sesudah itu dengan paksa ia membuka mulut babi, mengganjal mulut tersebut supaya tetap ternganga, kemudian ia memasukkan air panas sekali ke dalam mulut babi tersebut. Air panas ini akan membersihkan isi perut dan mengeluarkan semua kotoran tersebut melalui duburnya. Ia melakukan hal ini terus selama air yang keluar masih kotor, tetapi bilamana air panas yang keluar telah bersih maka berarti perut babi itu telah bersih sekali. Air panas yang sisa digunakan untuk menyirami kulitnya, sehingga kulit-kulit tipis yang hitam mengelupas. Kemudian ia membakar bulu-bulunya. Sesudah itu ia menggorok leher babi tersebut dengan pisau tajam, dan darah yang keluar dimasukkannya ke dalam talang, akhirnya ia membakar atau memasak daging babi bersama darah yang dikumpulkannya tadi, sesudah itu ia bersama keluarganya duduk dan memakan hasil masakan itu; bila ada sisanya, maka sisa itu dijualnya. Dengan cara ini ia hidup selama lima puluh tahun. Walaupun Sang Buddha berdiam di vihara yang tidak jauh dari rumahnya, namun demikian ia tidak pernah memberikan dana berupa bunga walaupun sedikit, atau sesendok nasi ataupun melakukan perbuatan jasa apa pun.
Pada suatu hari ia menjadi sakit, dan walaupun ia masih hidup, api neraka Maha Avici telah nampak terlihat di depannya. (Api neraka Avici dapat merusak mata yang memandangnya, walaupun jaraknya seratus yojana jauhnya. Telah disebutkan dalam Anguttara Nikaya, iii.35;i.142, bahwa “nyala ini akan merusak sejauh radius seratus yojana”. Demikian pula Nagasena Thera dalam Milindapanha 67, menggunakan keterangan ini untuk menunjukkan kehebatan api ini dibandingkan dengan api biasa: “Maha raja, walaupun batu sebesar pagoda akan hancur dalam sekejap bila dibakar api neraka. Tetapi bagaimana pun makhluk yang terlahir atau punabbhava di sana, karena hasil dari perbuatan atau kammanya, mereka menderita tetapi tidak musnah, bagaikan mereka dalam kandungan seorang ibu.”
Ketika api neraka Maha Avici muncul di depan mata Cunda merasa menderita sekali, maka kelakuannya sendiri berubah seperti perbuatan yang biasa ia lakukan dahulu. Walaupun ia masih dalam rumahnya sendiri, ia mulai berteriak dan merangkak seperti babi, yaitu berjalan dengan menggunakan kaki dan tangannya, merangkat ke depan dan ke samping rumahnya. Keluarganya mengikatnya, tetapi walaupun mereka telah berbuat demikian, ia tetap merangkak ke sana ke mari seperti babi (sebab tak mungkin bagi orang lain untuk mencegah buah kamma sebagai akibat perbuatannya yang lampau). Tidak seorang pun yang dapat tidur selama tujuh hari di sekeliling rumahnya. Anggota-anggota keluarganya, karena takut akan kematian, tidak sanggup bila hanya berbuat demikian saja, maka mereka memalangi pintu supaya ia tetap berada di dalam rumah dan tidak keluar, dan sesudah berbuat demikian mereka menjaganya pula.
Selama tujuh hari Cunda merangkak ke sana ke mari dalam rumahnya dengan merasakan derita neraka, berteriak-teriak bagaikan babi. Setelah merangkak dan berteriak demikian selama tujuh hari, maka pada akhir hari ketujuh ia meninggal dan terlahir kembali (punabbhava) di alam neraka maha avici (dalam Sutta, neraka maha avici diterangkan dalam Devaduta Sutta, Majjhima Nikaya. 130 iii).
Beberapa bhikkhu yang sering lewat di dekat rumah Cunda dan mendengar teriakan-teriakan, berpikir bahwa itu hanya suara ribut karena jeritan-jeritan babi saja. Mereka kembali ke vihara dan menemui Sang Buddha dan berkata pada beliau: “Bhante, selama tujuh hari pintu-pintu rumah Cunda ditutup dan selama tujuh hari tersebut pembunuhan babi berlangsung terus, apakah ia sedang melakukan pesta. Bhante, bayangkan berapa banyak babi yang dijagalnya, ia sama sekali tidak mempunyai rasa cinta-kasih (metta), maupun belas kasihan (karuna) sedikit pun. Ia sangat kejam dan buas, tidak ada bandingannya dari dulu sampai sekarang.
Sang Buddha menjawab: “Para bhikkhu, selama tujuh hari ini ia tidak membunuh babi, tetapi hasil akibat perbuatannya yang lalu telah dikenyamnya, Walaupun ia masih hidup, namun neraka maha avici telah terlihat olehnya. Hari ini ia telah meninggal dan berpunabbhava di neraka maha avici.”
Ketika Sang Buddha berkata demikian para bhikkhu berkata: “Bhante setelah menderita di dunia ini, ia menderita lagi di alam kelahirannya yang berikut.”
“Ya, para bhikkhu, jawab Sang Buddha, ia yang lalai, apakah ia bhikkhu atau orang awam, akan menderita pada kehidupan sekarang di dunia ini mau pun dalam kehidupan berikut di alam lain.” Setelah berkata demikian Beliau mengucapkan gatha ini:

15. “Di sini ia menderita, setelah mati ia menderita, orang jahat menderita di dua alam. Ia menderita, tersiksa melihat perbuatan jahatnya yang lampau.”

valerie_handoko